AL-QUR'AN : KITAB MANUAL TEROR?
"Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mudah dijawab. bahkan, mungkin daftarnya akan semakin panjang."
Lalu, bagaimana cara yang benar memahami islam? Terutama, bagaimana memahami pesan Alquran yang seolah menyemai bibit kebencian terhadap agama lain, menjelek-jelekkan Yahudi dan Nasrani, bahkan menganjurkan perang? Bagaimana Alquran menempatkan dirinya sendiri dalam semesta pemahaman setiap orang, dan apakah Alquran dapat dianggap bertanggung jawab terhadap kaum Muslim yang mencomot naskah secara acak, lalu menjadikannya dalil yang sah untuk melakukan tindakan tertentu?
Mari kita batasi pada satu hal saja, karena ini menurut saya paling menarik, yaitu apakah Alquran dapat dinalar dan dipahami masyarakat awam? Sebab, jika yang paham hanya segelintir orang saja, Alquran ini berarti hanya relevan untuk kaum terpelajar Muslim. Alquran sendiri menyebutkan bahwa kontennya tidak elitis, ditujukan bagi siapa pun yang mau belajar, dan terlebih penting lagi menggunakan bahasa Arab untuk memudahkan: dibaca, dibacakan, dihafalkan, dipahami.
"karena alasan ini setiap Alquran dimana pun akan dibaca dalam bahasa aslinya sejak 14 abad yang lalu"
Bagi saya, ada dua hal yang perlu dipegang sebagai kaidah. Pertama, Alquran memang diturunkan untuk semua lapis kelas sosial masyarakat, tidak untuk elit pemuka agama. Bahkan, Muhammad dipanggil dengan gelar "rasul" semata berfungsi sebagai medium pesan-pesan Ilahi ini. Tujuan utama pesan ini adalah umat manusia, lalu kaum beriman.
akan tetapi, sembari meyakini bahwa pesan ini diturunkan untuk semua manusia, kita perlu menyadari bahwa, kaidah kedua, lapis pemahaman setiap orang berbeda. Dengan demikian, orang yang kurang paham, karena keterbatasan ilmu atau tidak sempat mendalami secara khusus ilmu-ilmu Alquran, perlu belajar kepada orang yang lebih paham. pada akhir abad ke-6 masa kenabian Muhammad, sahabat bertanya kepada Rasulullah. Tabiin (generasi setelah sahabat Rasul) bertanya kepada sahabat, dan generasi sesudahnya murid bertanya kepada guru. Bertanya adalah salah satu metode mendapatkan pengetahuan. yang tidak pernah bertanya, kemungkinan ada dua: malas bertanya dan atau merasa sudah yakin dengan pemahamannya sehingga tidak perlu bertanya kepada ahli ilmu.
Setiap orang, tidak terbatas Muslim, dimana pun dan kapan pun dapat membaca pesan Alquran. jika tidak mengerti bahasa Arab, pertama-tama membaca melalui hasil terjemahnya. Selanjutnya bergantung pada niat si pembaca. Apakah mau membaca tingkat lanjut atau cukup berdasarkan bacaan terjemah saja? pembaca yang merasa cukup dengan terjemahan akan sama mendapatkan manfaatnya dengan ini membaca lebih lanjut dala kadar manfaat yang berbeda. Ibarat beras, seseorang yang cukup mengunyah beras dan yang mendapatkan kenikmatan memakan nasi tentu berbeda. Allah memberikan pahala sesuai besar upaya yang dikeluarkannya.
"Maka, kebodohan sering kali bukan karena Allah, melainkan karena malas berburu pengetahuan yang sesungguhnya tidak terbatas"
Dalam sebuah kutipan yang disampaikan oleh salah satu pendiri Fahima Institute, Faqihuddin Abdul Qadir, bahwa setiap Muslim memiliki kewenangan atau otoritas yang sama untuk memahami dan memberikan tafsir terhadap ayat Alquran, sama setaranya dengan para alim ulama. Sejauh tertentu, kapling atas wilayah pemahaman Alquran tentu tidak didominasi semua oleh para mufasir. Namun, syaratnya melekat dengan keingintahuan si pembaca terhadap satu teks, terikat pula kewajiban lainnya untuk bersikap rendah hati dan mendiskusikan pemahamannya dengan yang lain.
"Menurutnya, kesalahan yang banyak terjadi ketka membaca Alquran adalah seolah-olah kita sedang membaca sebuah buku pada umumnya yang dibaca sore hari saat hujan dan jagung bakar dan menganggap Tuhan ibarat penulis dalam daftar buku laku."
kerendahan hati menjaga sikap takabur sehingga pemahaman yang mungkin keliru bisa dikoreksi melalui jalan diskusi. Namun, memberikan otoritas kepada Muslim yang awam bukan tanpa bahaya. Seturut apa yang terjadi dengan Socrates ketika mengkampanyekan filsafat untuk semua, sang filsuf menjadi martir untuk gerakan kampanyenya sendiri. jika tidak dibarengi dengan pemahaman yang benar, bukan tidak mungkin, meletakkan otoritas kepada setiap Muslim untuk memahami Alquran sebagaimana teks itu dipahami oleh individu, tanpa cek-silang dan tuna-ilmu, akan berakibat sama fatalnya.
Coba simak pembacaan Alquran oleh seorang Yahudi Agnostik, juga pengaran buku The First Muslim, Lesley Hazleton, untuk membantu kita memahami gagasan "pemahaman" Alquran.
Akan tetapi, kenyataan bahwa sangat sedikit orang yang "benar-benar" membaca Alquran menunjukkan bahwa Alquran begitu mudah dikutip; tepatnya dikutip secara keliru. Frasa dan potongan teks ayat suci yang tak lengkap dikutip di luar konteks, dan umumnya disukai oleh Msulim fundamentalis maupun anti-Muslim yang benci Islam.
Pengalaman Lesley menunjukkan bahwa semakin ditekuni, Alquran akan terbuka lapis-lapis maknanya. Tidak pernah ada gagasan surga yang dijejali oleh 72 perawan di dalam Alquran. Surga bukanlah tentang keperawanan, melainkan keberlimpahan. Taman-taman dengan aliran air yang tidak pernah surut.
Konon, pengetahuan yang benar seperti anggur yang nikmat, tetapi tidak memabukkan. Dan, pencari ilmu yang mereguknya menyisakan banyak kesadaran untuk diskusi dan berbagi kebijaksanaan.
Menguji kesesuaian dan kemudahan Alquran untuk dipahami bagi masyarakat pada umumnya tanpa pernah belajar bahasa Arab, tidak mengerti kaidah bahasa Arab, tidak menguasai ilmu tafsir dan tidak pernah membaca kitab tafsir dari para imam mana pun adalah eksperimen yang menantang. Setidaknya, untuk menguji apakah benar setiap yang sedang terbakar gairah keislamannya akan jatuh pada lubang radikalisme dan fundamentalisme agama? Sayangnya, saya tidak punya hak istimewa untuk menguji di lapangan. Namun, pertama dan yang terpenting adalah kemauan untuk bersikap terbuka. Karena, kalau Anda berpikir cupet, dijelaskan dengan cara apa pun, yang ditangkap pastinya sebatas apologi: hanya pintar mengemukakan alasan untuk membela diri saja.
Mungkin persis seperti bunyi Hadits Qudsi yang mengungkapkan bahwa Allah ibarat perbendaharaan yang tersembunyi dan (Allah) sangat ingin manusia mengetahui-Nya.
"Apa yang terjadi dengan Muslim yang sedang terbakar semangatnya ketika membaca tentang ayat-ayat perang?"
Apakah ayat itu akan dimaknai dalam konteks sekarang (dan melepaskan diri dari kaitan apa pun dalam konteks sejarah masa lalu) atau teks itu berbicara apa adanya dan membuatnya tetap relevan melampaui abad-abad panjang? Ini artinya, siapa pun yang membaca Alquran, dengan pemahaman bahwa teks itu selalu aktual, akan segera menanggalkan baju ibadah berganti dengan zirah, lalu pergi bertempur ke wilayah-wilayah konflik seperti ajakan khalifah Negara Islam Irak dan Suriah?!
Mungkin ya, mungkin tidak. Sebab, faktor manusia yang membaacanya juga perlu diperhatikan. Alqur'an menutup pemahaman bagi mereka yang membacanya agar ikut hawa nafsu.
Sementara kehati-hatian terpenuhi, jawaban atas pemahaman awam terhadap Alquran ini tetaplah tidak memuaskan. Jika memang masih diperlukan seperangkat pengetahuan tambahan, Alquran jelas teks yang berbahaya apabila dibaca sembarang orang. Pernyataan ini menjadi sedemikian menantang karena Alquran diposisikan sebagai kitab yang menyangga pemahaman banyak orang dan dengan demikian membuatnya relevan bagi siapapun pembacanya.
Sumber : 50 kisah tentang buku, cinta & cerita-cerita di antara kita
Penulisannya bagus, mudah untuk di pahami.
BalasHapusterima kasih supportnya
Hapus