Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MELACAK JEJAK MONOTEISME FIRAUN

Mungkin agak membingungkan jika mencoba menghubungkan gagaasan monoteisme yang berarti keyakina pada satu Tuhan, tanpa kehadiran tuhan lainnya dalam artefak keyakinan raja-raja Mesir yang bertabut dewa-dewi. Seperti lazim yang diketahun salah satu "figur" dewa paling digdaya selama masa peradaban Mesir adalah Re atau Ra, sang dewa matahari. Namun, dari semua dinasti raja Mesir tercatat Amenhotep IV pada 1364 sebelum masehi (generasi raja Mesir dinasti ke-18, pendahulu Ramesses II sang Firaun legendaris yang ditenggelamkan di Laut Merah) yang disebut-sebut terpengaruh ajaran monoteis. Amanhotep IV mendirikan sebuah keyakinan baru bernama Aten, bahkan pada akhirnya mengganti namanya menjadi Akhenaten yang berarti hamba Aten atau pengikut Aten.

    Pada 1989, seorang arkeolog Prancis bernama Alain Zivie membuat sebuah arkeologi yang penting terkait kepercayaan Aten. Di sebuah tempat dekat Kairo bernama Sakkara, Alain menggali sebuah kuburan perdana menteri dan pemuka agama tertinggi kepercayaan Aten yang bernama Aper-El.

"Yang mengejutkan, setelah tes DNA, sang perdana menteri dan wazir Aten ini bukanlah suku asli Mesir, melainkan berasal dari Kanaan, yang berasal dari keturunan Yakub atau Jacob, dan melahirkan keturunan israil."

    Nama Aten menjadi menarik dalam wilayah diskusi kepercayaan Mesir kuno karena Aten sendiri bukanlah figur kepercayaan yang termanifestasi dalam bentuk patung dan atau representasi lainnya yang berwujud seperti Sekhmet, dewi berkepala singa dan banyak bentuk lainnya. Aten, bukan saja tidak ada wujud fisiknya, melainkan juga melarang penyembahan kepada bentuk atau nama tuhan-tuhan atau dewa-dewi lainnya. jika penamaan "tuhan" cukup relevan dan tidak mengundang perdebatan yang tidak perlu, Aten pada masa itu adalah satu-satunya Tuhan. Sementara tuhan lainnya yang dipercaya oleh banyak orang Mesir adalah tuhan yang palsu dan semu.

"Sebagai representasi, Aten hanya muncul dalam simbol berbentuk piringan atau cakram (disk)"

    Temuan arkeologis Alain Zivie perihal pendeta utama bergelar Aper-El ini memastikan gagasan monoteis kepercayaan Aten.

    Sebagai perbandingan, nama lain Nabi Yakub a.s. yang disebut Israil mengandung kata El yang berarti "Tuhan". Israil artinya yang diperjalankan oleh Tuhan pada waktu malam (mungkin menghindari kemarahan saudaranya, Esau, yang ingin membunuh Yakub).

"El sendiri adalah bahasa Ibrani kuno untuk menyebut Tuhan yang satu (The God), sedangkan Aper-El berarti 'pelayan Tuhan (servitor of El)'".

Kisah Aper-El ini sedikit memberikan gambaran tentang keberlanjutan gagasan keesaan Tuhan yang diajarkan melalui garus keturunan agama-agama Abraham atau Ibrahim dan pengaruhnya terhadap dinasti Firaun. Dalam tradisi Islam maupun Kristen, jumlah rasul yang populer bertemu dengan raja-raja Mesir ini kurang lebih sama yaitu Ibrahim, Yusuf, dan Musa beserta saudara laki-lakinya, Harun. Namun, ada sedikit perbedaan dalam menyebut raja Mesir mana yang bergelar Firaun.

    Bibble menyebutkan bahwa semua raja Mesir bergelar Firaun, sementara dalam tradisi Islam, gelar Firaun hanya disematkan kepada raja-raja Mesir periode kerajaan baru pada kurun 1500 SM. Ibrahim menurunkan Ishak atau Isaac dan dari garis ini lahirlah Yakub, Yusuf (Joseph), dan keturunan Israel lainnya. Kemungkinan besar juga karena didahului oleh kepemimpinan Yusuf, penduduk suku Kanaan yang memiliki wewenang besar dalam pemerintahan Kerajaan Mesir waktu itu, memberikan kemungkinan yang sama tentang peran luar biasa Aper-El, pemuka agama saat itu. Berdasarkan penanggalan Mesir saat itu, periode Yusuf (juga Musa) berada pada masa permulaan kerajaan baru sekitar 1552-1069 sebelum masehi (SM). Menurut catatan sejarah yang valid, Kerajaan Mesir terbagi menjadi 3 periode yaitu, kerajaan lama (2700-2200 SM), kerajaan pertengahan (2040-1674 SM), dan kerajaan baru (1552-1069 SM).

    Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis, pada tahun 1939, menjelang akhir hayatnya, emnulis sebuah karya tentang agama berjudul Moses and Monotheism yang konon sedikit mengubah pandangannya tentang agama yang dulu disebutnya secara lantang sebagai sebuah penyakit mental kolektif. Dalam sebuat artikel menarik, Mark Edmundsin, seorang profesor sastra Inggris di Universitas Virginia menulis catatan pendek nan menggelitik yang berasal dari bukunya The Death of Sigmund Freud: The Legacy of His Last Days (2007).

    Menurut Edmundson, Freud dalam sikapnya yang tetap ateis, menemukan perspektif baru terhadap agama dan kepercayaan kepada Tuhan yang tak terlihat.

"Menggunakan basis Judaisme, Keyakinan yang edari kecil dibesarkan dalam keluarganya, Freud menjelaskan bahwa keyakinan terhadap adanya Tuhan membantu menemukan titik balik terhadap kehidupan batiniah dan melahirkan kemungkinan menjalani hidup yang penuh mawas diri."

    Terkait Atenisme, Freud berpendapat bahwa ada kemungkinan gagasan Tuhan yang satu sepertu tampak pada Atenisme adalah Tuhan yang sama yang dipercaya oleh bangsa Ibrani pada masa itu sebagaimana ditulis oleh Graham Phillips, penulis The End of Eden: the Comet that Changed the Civilization (2007). Sebab, seperti Judaisme, Atenisme mengajarkan konsep Tuhan yang abstrak, Tuhan yang melepaskan dirinya dari cerapan indra-bahkan menolak semua citraan atas nama Tuhan. Atas hal ini, Freud menyebut bahwa gagasan Tuhan yang abstrak ini adalah kelebihan intelektualitas atas sensualitas. Lebih jauh, karena kepercayaan terhadap Tuhan yang tak terlihat pula, yang membuat manusia dapat memahami dengan baik konsep  abstrak seperti ditemukan dalam matematika, ilmu hukum, sains, dan seni literer.

    Sayangnya, seperti direkam oleh sejarah, masa hidup kepercayaan Aten ini juga berakhir dengan masa jatuhnya Akhenaten. Bahkan, oleh penerusnya, Tutankhamun, semua yang berhubungan dengan Aten dirusak dan dikembalikan kepada inti ajaran raja-raja Mesir sebelumnya; kembali kepada sang dewa matahari Ra dan dewa dewi lainnya. Beberapa generasi sesudahnya bahkan keturunan Israil yang semula menempati tempat terhormat di Kerajaan Mesir, diperbudak dan diberikan cobaan luar biasa sampai pada masa ketika semua anak-anak laki-laki yang baru lahir harus disembelih. Masa yang kemudian melahirkan Musa dan membimbing Israil untuk keluar dari Mesir dan menyeru pada akar sprirtual yang lama hilang; Tuhan yang sama yang dikenalkan Ibrahim, nenek moyang bangsa Israil, dan Bapak tiga agama besar. 

Posting Komentar untuk "MELACAK JEJAK MONOTEISME FIRAUN"