Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MELIHAT NABI MUHAMMAD SAW., SANG RASUL DARI JARAK 14 ABAD

     Jika ada bukti autentik tentang hadirnya sebuah kebudayaan, niscaya kita akan dituntun untuk mendalami artefak yang ditinggalkannya. Tetapi, bagaimana menekuni sebuah pribadi yang sejarak 14 abad lamanya terpisah jauh dengan kita? Maka, lagi-lagi, artefak, barangkali menjadi jawaban yang juga relevan. Tetapi, tidak demikian halnya sebuah peradaban agung yang bisa ditemukan dengan benda padat fisik yang tercecer, tertimbun, atau karena suatu alasan hanyut dan kemudian ditemukan kembali; artefak Sang Nabi dengan satu dan lain alasan tetap hidup dalam huruf-huruf-Nya. huruf-huruf yang ditulis dari kanan ke kiri, dan kemudian melahirkan angka Arab 1,2,3,4,5,6,7..., yang membuat minder para pengguna angka/karakter romawi yang tidak sederhana untuk melakukan operasi aritmatika:tambah, kurang, kali, bagi.

    Sebagai Muslim non-Arab, saya sering kali mengukur kehebatan bangsa Melayu dengan bangsa-bangsa yang lahir di wilayah subur tepian Sungai Tigris, niak ke atas ke wilayah bukit Judi atau membelok ke kiri dan ke kanan, yang merupakan wilayah-wilayah kenabian-atau tempat-tempat keramat nubuwat Allah diturunkan kepada manusia-manusia saleh terpilih. Nusantara, sebaliknya, tidak memiliki keterangan cukup berdasarkan data, yang membuatnya penting menjadi sumber kelahiran para nabi agung. Hanya sedikit data yang bisa diperoleh yang membuat harapan itu ada-konon menurut sebuah riwayat, jumlah para nabi itu ratusan ribu jumlahnya. Namun, hanya 25 itulah yang dikenal(kan?) dan dipopulerkan melalui sejarah dan ingatan berbagai peradaban. jadi, ada kemungkinan, tentu saja, jika di antara ratusan ribu itu ada sempat bermukim di kepulauan dan dangkalan-dangkalan yang kemudian disebut Sunda Besar dan Sunda Kecil menurut versi peta Belanda.

"Akan tetapi, siapa kira-kira nabi yang sempat tinggal di Nusantara?"

    Mencari jawaban ini tidaklah penting. Namun, fakta bahwa kebudayaan Melayu menyerap bahasa dan karakter/huruf Arab ke dalam rumah pengetahuan bangsa Melayu, menjadi artefak yang tidak bisa diabaikan. konon, saat orang-orang Belanda mengenalkan statistik dan menghitung berapa parah tingkat buta huruf di Hindia Belanda, jumlah orang yang tidak bisa membaca dan menulis teramat dalam parahnya. Namun, jelas-jelas tools dan statistik yang digunakan untuk melakukan pendataan itu mengabaikan fakta bahwa orang Melayu sudah teramat terbiasa membaca Arab-Melayu.

"Begitu penting huruf Arab, sampai-sampai bangsa Melayu mengadaptasi ucapan lisan mereka dan menyulihkannya ke dalam bahasa Arab."

    saya sendiri, selama 3 tahun berkutat di SMP Swasta Islam, sempat membaca bahasa Arab-Melayu ini. Namun, sebelum VOC mengenalkan dan mendidik putra bangsa dengan aksara latin, alfabet, yang dengan mudah dihafal anak prasekolah, bangsa Melayu menulis aksara mereka dengan aksara Arab.

    Jadi, melalui perjumpaan yang sudah tentu bukan secara kebetulan antara puak(kelompok, golongan, suku) Melayu dan puak Arab, atau puak mana pun yang kemudian datang ke kepulauan-kepulauan dan mengajarkan aksara Arab, kenyataan bahwa Muslim Indonesia (sekarang) mengenal dan dengan mudah membaca bahasa Arab. adalah fakta dari pertemuan kebudayaan itu. Dan, secara tidak langsung menuntun kita pada artefak yang di tinggalkan Sang Nabi untuk umat Islam: Al-Quran.

    Huruf Arab, Anda boleh berdebat dan berbeda pendapat, adalah artefak yang ditinggalkan persis di depan mata kita untuk mengenali kembali Sang Rasul, Muhammad Rasulullah SAW. yang pada kemunculannya pada akhir abad ke-6 telah mengguncangkan Imperium Romawi dan Kekasiaran Persia. Lalu, seiring meluasnya peradaban Islam ke luar Jazirah Arab, huruf Arab perlahan tetapi pasti menjadi bahasa internasional untuk perdagangan, etika dan tentu saja bahasa para intelektual. Beberapa abad kemudian, dalam pertarungan intelektual-dialektik di ranah filsafat tentang Tuhan dan Permulaan, bangsa Eropa menemukan catatan tentang buah fikiran para filsuf Yunani dari salinan-salinan berbahasa Arab! Konon, dari sinilah dimulainya percik api renaissance di Eropa yang menumental itu.

    Huruf Arab, artefak yang ditinggalkan Nabi itu, menjadi kata kunci untuk mendalami peristiwa-peristiwa dalam Al-Quran, maka, bertemulah kita dengan para utusan Tuhan yang datang sebelum Muhammad, peristiwa-peristiwa dahsyat dari kebudayaan Ad, sang pembangun rumah di gunung-gunung batu yang luluh lantak karena durhaka, hingga perjalanan Israa-sehari-semalam-melintasi langit dan bumi yang sukar dinalar.

    Akan tetapi, dalam memahami Al-Quran, tidak semua data mudah diekstrak dan dipahami konteksnya. Irshad manji, salah seorang intelektual Muslim membenarkan bahwa pemahaman Islam yang benar bukanlah pemahaman Arab. Islam tidak identik dengan bangsa Arab. Namun, jika Anda membaca The Trouble with Islam Today, akan terasa bahwa represi dalam indentitas budaya asal (seingat saya Afrika)-sebelum dia pindah ke Kanada-yang membuat anggapannya tentang ISlam dipahami sebagai melulu represif. Dalam hal ini, di-endorse oleh Al-Quran, bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan, semua wacana-konten, konteks-bisa didiskusikan. Ironisnya, sering kali, Islam ditutupi keindahannya oleh praktik-praktik orang muslim-yang tidak mau melihat kembali ajarannya, mendalami kembali nilai-nilainya, dan terus-menerus melakukan dialog dan diskusi untuk mencapai pemahaman yang benar. Dan, bukanlah jalam menuju pemahaman, bahkan Tuhan, terkadang berliku?

    Kini, dalam jarak 14 abad lamanya ketika saya mencoba kembali menekuni pribadi Sang Nabi, terbayang kembali senyum riangnya saat bertemu anak kecil dan menyapanya akrab; saat-saat penuh kesabaran ketika setiap hari dilempari kotoran oleh orang-orang yang membencinya; muram wajahnya saar ditinggal istri tercinta, Khadijah; dalam dan tegas suaranya ketika semasa berperang memerintahkan untuk tidak menyakiti akan-anak, tidak merusak kehormatan perempuan, tidak menghancurkan rumah ibadah, dan tidak membumihanguskan pepohonan.

"Malu rasanya membayangkan Nabi yang penyayang kini memiliki umat yang bisa saling membunuh karena berebut lahan parkir, berebut kekuasaan"

       Kita berlomba-lomba dalam pertandingan adu kemewahan dan kekayaan, sementara kesederhanaan dan semangat berbagi kita tinggalkan. Para pemimpin mengeluh kurang ini dan itu, minta fasilitas ini dan itu, sementara rakyat untuk makan pun kesulitan luar biasa.

       Saya yakin kalau pun Nabi sendiri sampai hari ini masih hidup, pastilah kelahirannya tidak perlu dirayakan. Kita yang lebih membutuhkannya alih-alih Sang Nabi. Karena itu, kita menjumpainya dalam shalawat. Namun, tidak salah kiranya jika saya sejenak mengenangkan semangatnya yang luar biasa untuk memanusiakan manusia dan mengenalkan kita kepada Sang Khalik, tempat kita semua akan kembali.


Di ambil dari buku : 50 kisah tentang buku, cinta dan cerita-cerita diantara kita.

Posting Komentar untuk "MELIHAT NABI MUHAMMAD SAW., SANG RASUL DARI JARAK 14 ABAD"